Senin, 15 Februari 2016

Batu Lubang

Image result for batu lubang Image result for batu lubang
SIBOLGA - Masyarakat Indonesia dan khususnya warga Sumatera Utara (Sumut) belum banyak mengenal dan mengetahui bahwa Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) memiliki sebuah peninggalan situs sejarah perjuangan saat jaman kolonial berupa jalan terowongan yakni Batu Lubang. 

Lokasi terowongan ini terletak di Km 8, Kawasan Dusun Simaninggir, Desa Bonandolok, Kecamatan Sitahuis atau sekitar 15 menit perjalanan dari pusat Kota Sibolga atau sekitar 18 Km dari pusat Kota Pandan.

Di tempat ini anda akan menyaksikan keunikan Batu Lubang tersebut lengkap dengan cerita sejarah pembangunannya.

Cerita sejarah pembuatan Batu Lubang itu bisa anda temukan di dinding bukit sekitar bangunan yang berukuran paling besar yang ada di kawasan itu.

Di dinding bukit tersebut ada sebuah ornamen yang sengaja dibangun dari semen yang menceritakan tentang sejarah pembangunan Batu Lubang itu.

Namun tidak banyak cerita pasti mengenai tahun dan lama pengerjaan Batu Lubang. Bahkan tahun pembuatannya ada yang menyebutkan tahun 1930 atau sekitar 84 tahun silam serta tahun 1900 atau sekitar 114 tahun silam.

Namun terlepas dari kontroversi tahun pembangunan Batu Lubang tersebut, yang pasti tempat itu dibangun pada masa kolonial Belanda dengan melibatkan rakyat Tapanuli (khususnya warga Sibolga dan Tapanuli Tengah) serta pejuang – pejuang kemerdekaan yang menjadi tawanan Belanda masa itu.

Tujuan pembukaan Batu Lubang itu adalah untuk mempermudah sarana transportasi menuju Tarutung sekaligus juga untuk mempermudah pengangkutan hasil bumi dari tanah Batak dan penumpasan laskar atau pejuang kemerdekaan Indonesia.

Maka rakyat dan pejuang saat itu dipaksa bekerja (kerja Rodi) untuk membuka jalan dan Batu Lubang tersebut.

Sehingga sekarang ini kita dapat menikmati perjalanan Sibolga – Tarutung berkat buah tangan rakyat Tapanuli dan pejuang yang menjadi tawanan Belanda masa itu. Konon ceritanya banyak darah tertumpah atau rakyat yang menjadi korban dari pekerjaan pembukaan jalan dan Batu Lubang itu, terutama pada pembukaan jalan pada terowongan.

Tapi tidak ada catatan sejarah juga berapa banyak rakyat Tapanuli dan pejuang kemerdekaan yang menjadi korban bahkan dari cerita juga, mereka yang menjadi korban dibuang begitu saja ke jurang yang berada di salah satu sisi Batu Lubang ini.

Mereka yang meninggal atau merenggang nyawa dalam pekerjaan pembuatan jalan terowongan itu karena merasa keletihan dan kelelahan karena tak kuat dan kuasa menahan derita pemaksaan kerja.

Para pekerja dipaksa bekerja keras dengan sekuat tenaga tanpa istrahat dan makanan yang cukup untuk membuat terowongan tersebut.

Sementara untuk membuka jalan terowongan itu, para pekerja harus menembus batu dinding gunung Bukit Barisan yang keras dengan alat seadanya yakni pahat dan martil.
Akhirnya dengan banyak korban jiwa dari para tawanan (rakyat Tapanuli dan laskar kemerdekaan) berhasil membuka dua unit jalan terowongan.

Ukurannya kala itu hanya bisa dilintasi oleh mobil kecil. Namun seiring perkembangan jaman, lebar badan terowongan mengalami pelebaran. Namun sentuhan tersebut dilakukan tanpa mengurangi makna dan bentuk fisik dari terowongan sehingga kini dapat dilalui oleh truk jenis Fuso.

Kedua unit Batu Lubang yang dikerjakan oleh rakyat Tapanuli dan laskar kemerdekaan yang menjadi tawanan kolonial Belanda pada masa itu, satu unit berukuran kecil sepanjang 8 meter dan satu terowongan besar berukuran panjang sekitar 30 meter.
Kedua terowongan ini terletak terpisah, namun berada dalam satu ruas jalan dengan jarak antara keduanya sekira 50 meter.

Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng) Raja Bonaran Situmeang membenarkan sejarah pembangunan Batu Lubang tersebut.

Bonaran juga menyatakan Batu Lubang dan wilayah sekitarnya merupakan salah satu tempat destinasi wisata yang menarik di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng).

“Selama ini, gaung Batu Lubang tersebut belum besar untuk menarik wisatawan, karena selain fasilitas wisata disana yang masih kurang mendukung dan demikian juga terhadap pengelolaan kawasan, juga diakibatkan faktor nama Batu Lubang yang belum terasa memiliki gaung besar dan makna istimewa,” kata Bonaran.

Menurut Bonaran, nama Batu Lubang terasa tak bernilai dan terdengar biasa atau tidak memiliki roh tertentu. Karenanya tidak terlihat nuansa dan siratan kandungan makna serta sejarah didalamnya.

Sehingga, orang pun (khususnya masyarakat luar daerah) terlihat tidak begitu banyak mengetahui dan berkunjung ke lokasi itu.

“Maka untuk merubah kondisi ini, Pemkab Tapteng sudah menyusun sebuah konsep dan grand design disana, pertama yang akan kita lakukan adalah dengan mengganti nama Batu Lubang menjadi Terowongan Belanda, sehingga akan terlihat lebih nge-tren dan menjual,” ujarnya.

Namun ungkap Bonaran, pergantian nama Batu Lubang menjadi Terowongan Belanda ini tentunya harus disampaikan dan dibicarakan terlebih dahulu dengan tokoh – tokoh masyarakat yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng).

Dimana pelaksanaannya diharapkan dapat dilakukan sebelum perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Tapanuli Tengah pada 24 Agustus mendatang.

“Artinya disini, deklarasi pergantian nama Batu Lubang menjadi Terowongan Belanda ini kita harapkan dapat dilakukan pada perayaan HUT Kabupaten Tapteng pada tanggal 24 Agustus 2014 ini,” beber Bonaran.

Kemudian, sambung Bonaran, konsep dan grand desaign berikutnya, tanpa mengurangi makna sejarah atau Herritage dari Batu Lubang yang telah memakan banyak korban orang Batak atau rakyat Tapanuli tersebut, adalah dengan mengalihkan rute kendaraan umum dan kendaraan besar jenis truk ke jalan baru Rampa – Poriaha yang dalam waktu dekat akan selesai dibangun tersebut.

Rute Batu Lubang ini diharapkan nantinya hanya akan dilalui oleh kendaraan pribadi dan kenderaan jenis pariwisata.  

“Selanjutnya di sisi Batu Lubang akan dibangun jembatan. Jembatan ini diharapkan dapat terbangun pada tahun 2015 mendatang karena dari jembatan ini nantinya juga akan di design Pariwisata disitu,” ujarnya.

Kemudian sebut Bonaran, pihaknya juga akan menambah nuansa dan relief – relief serta bangunan di sekitar terowongan untuk menghidupkan sejarah lokasi.

Selama ini pemeliharaan nuansa dan relief disana terbiarkan, karena keterbatasan anggaran, tapi nantinya hal tersebut akan terpelihara melalui pengalokasian anggaran pemeliharaan setiap tahun.

Di kawasan Batu Lubang itu juga anda bisa menikmati destinasi wisata lain berupa pemandangan air terjun. Air terjun ini mengalir dari badan dinding Batu Lubang dan jatuh ke sebuah lembah yang didalamnya terdapat aliran sungai. Jarak sungai ke titik jatuh air terjun dari badan dinding batu lobang tersebut diperkirakan ketinggiannya sekitar 100 meter.
Kemudian suguhan destinasi wisata lainnya, anda bisa melihat langsung panorama alam Bukit Barisan dan panorama alam keindahan Teluk Tapian Nauli.
Di Teluk Tapian Nauli ini anda akan melihat luasan laut membiru bersamaan dengan isi permukaannya seperti pulau – pulau diantaranya Pulau Poncang Gadang dan Poncang Ketek, Pulau Mursala, Pulau Labuan Angin dan lainya.
Selanjutnya, anda juga bisa melihat kapal – kapal tanker pengangkut bahan bakar minyak (BBM) untuk Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Sibolga dan kapal tanker lain seperti pengangkut Batu Bara untuk PLTU Labuan Angin yang sedang berlabuh serta kapal – kapal penangkap ikan milik nelayan modern dan tradisional dan ratusan unit Bagan Pancang (rumah – rumah penangkap ikan).
Selain itu juga, anda akan disuguhi sensasi udara sejuk yang akan menghempas tubuh dan penciuman (hidung) anda.
Namun yang tak kalah sensasinya juga adalah, perjalanan menuju lokasi Batu Lubang, baik itu keberangkatan dari arah Tapanuli Utara menuju Sibolga - Tapanuli Tengah dan sebaliknya keberangkatan dari Sibolga menuju Tapanuli Utara, anda akan disuguhi jalan berkelak kelok.
Sebagaimana diketahui, Jalan Nasional Sibolga – Tarutung yang memiliki panjang 66 Km, dikenal sebagai satu – satunya jalan unik di dunia dengan jumlah kelokan sekitar 1.200 unit atau dengan kata lain, sepanjang perjalanan dari dan kedua daerah itu anda akan dihadapkan dengan kondisi jalan yang berkelok. 

sumber: http://daerah.sindonews.com/read/886034/29/terowongan-batu-lubang-saksi-bisu-kekejaman-kolonial-1406187400/2

PERANG PUNGKASAN RAKYAT BLAMBANGAN MELAWAN PENJAJAH BELANDA (NAPAK TILAS PUPUTAN BAYU)

Setiap tahun warga Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi menggelar acara Napak Tilas Puputan Bayu untuk mengenang perjuangan heroik laskar kerajaan Blambangan - yang merupakan cikal bakal Kabupaten Banyuwangi - berperang melawan penjajah Belanda pada tahun 1771 lalu. Bagi Pemda Banyuwangi napak tilas ini dimaknai sebagai wujud meningkatkan patriotisme dan semangat pahlawan melawan penjajah. Sebuah ajang refleksi pembelajaran sejarah yang tentunya sangat diperlukan bagi generasi masa kini.

Napak tilas perang Puputan Bayu, Songgon, Bayuwangi.
Courtesy film Puputan (sumber :Harianjambi.com)
Selain warga setempat, napak tilas juga diikuti peserta yang datang dari berbagai wilayah Banyuwangi, yang berasal dari berbagai elemen, mulai dari dinas/instansi, pelajar, mahasiswa dan umum.
Peserta napak tilas terdiri perorangan maupun beregu menyusuri sepanjang jalur perang Puputan Bayu. Setiap tahun jarak tempuhnya bisa berubah, sesuai dengan pertimbangan tertentu.
Untuk tahun 2015 peserta menempuh jarak 9 kilometer yang terdiri dari 2 kilometer jalan aspal dan 7 kilometer jalan setapak ditengah hutan, dimulai dari kantor Kecamatan Songgon dan berakhir di kawasan wana wisata Rowo Bayu, di Desa Bayu, Songon.
Wisata Banyuwangi
Kirab pusaka (sumber : Detik.com)
Selain itu ada yang berbeda dalam acara napak tilas perang Puputan Bayu. Bersamaan dengan acara tersebut, warga Desa Bayu, Kecamatan Songgon menggelar kirab pusaka perang dan kirab tumpeng hasil bumi. Kirab ini menempuh 3 kilometer, juga di finish di petilasan Prabu Tawangalun, yang berada di wana wisata Rowo Bayu.
Terdapat ratusan pusaka yang dikirab, terdiri dari keris, tombak. Kesemua pusaka tersebut merupakan warisan leluhur yang digunakan saat perang Bayu. 
Perang Puputan Bayu

Perang Puputan Bayu terjadi pada Agustus 1771 sampai Desember 1772, tercatat sebagai puncak perlawanan prajurit Blambangan terhadap Belanda. Dalam Bahasa Osing, puput mempunyai arti habis, puputan berarti habis-habisan, maka Perang Puputan Bayu berarti perang habis-habisan di daerah Bayu, yang sekarang masuk wilayah administratif Kecamatan Songgon, Banyuwangi.
Perang Puputan Bayu yang merupakan perlawanan rakyat Blambangan terhadap kolonialisme Belanda tercatat sebagai perang terkejam dan brutal  yang pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa ini merupakan peperangan yang sangat menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan korban jiwa dan harta benda dari semua peperangan yang pernah dilakukan Belanda di Indonesia.
Tindakan Belanda yang sewenang-wenang dan kejam menyebabkan kebencian rakyat dimana-mana. Pejuang Blambangan Jagapati menghimpun rakyat Blambangan di benteng Bayu. Ribuan penduduk rela meninggalkan desa mereka untuk bergabung dengan Jagapati.
Puncaknya pada tanggal 18 Desember 1771, para pejuang Blambangan melakukan serangan umum secara Puputan atau habis-habisan terhadap Belanda. Pertempuran berkobar di Songgon dan Susukan mengakibatkan kekalahan pasukan VOC dan terbunuhnya letnan Reigers. Namun pertempuran paling brutal belum lagi pecah. Pada serangan terhadap pasukan VOC kedua di bulan yang sama, penyergapan mendadak yang dilakukan para pejuang Bayu bersamaan dengan deras hujan menyebabkan pasukan VOC yang dikomandani Vaandrig Schaar menderita kekalahan parah.
Para prajurit Blambangan maju ke medan perang secara serentak dengan  berteriak-teriak histeris untuk membangun semangat juang mereka dan meruntuhkan semangat musuh, dengan membawa senjata apa adanya seperti keris, golok, pedang, tombak, dan senjata api yang mereka peroleh dari hasil rampasan dari tentara VOC atau yang di dapat dari orang-orang inggris yang telah membuka kantor dagangnya di Tirtaganda.
Pangeran Repeg Jagapati memimpin  peperangan ini, namun ia gugur akibat luka-luka dalam perang Puputan Bayu ini.
Dalam  peperangan ini pasukan VOC benar-benar di hancur luluhkan. Sebagian dari mereka digiring ke parit-parit jebakan yang telah sengaja dibuat oleh pejuang- pejuang Blambangan untuk kemudian menghujaminnya dengan senjata dari atas.
Vaandrig Schaar yang merupakan komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinned dan tak terhitung banyaknya tentara Belanda lainnya yang terbunuh dalam  peperangan tersebut. Kepala Schaar dipotong, kemudian ditancapkan pada ujung tombak dan diarak keliling desa-desa.
Setelah itu Belanda melakukan cooling down sambil menunggu bantuan tenaga dan amunisi sebelum melakukan serangan balasan besar-besaran.
Pada tanggal 11 Oktober 1772 Belanda melakukan serangan mengejutkan. Bayu digempur habis-habisan dengan tembakan-tembakan meriam oleh Belanda. Heinrich dengan 1.500 pasukannya menerobos dan meyerang benteng Bayu dari sayap kiri.
Melalui pertempuran sengit akhirnya Bayu dapat direbut VOC. Para pejuang Bayu yang tertangkap diperintahkan oleh Heinrich untuk dibunuh. Kemudian kepalanya dipotong dan digantung di pohon- pohon atau ditancap-tancapkan di tonggak pagar di sepanjang jalan desa.
Itulah akhir dari sebuah peperangan habis-habisan yang sangat mengerikan yang telah merenggut ribuan bahkan puluhan ribu korban. Baik dari pihak musuh dan terutama dari pihak rakyat Blambangan. Sebanyak 60 ribu rakyat Blambangan gugur, padahal jumlah penduduk Blambangan ketika itu tak lebih dari 65 ribu orang.
Dalam dokumen yang ditulis J.K.J. de Jonge pada 1883, yang mengutip surat Gubernur Jenderal Reiner de Klerk kepada pemimpin VOC tertanggal 31 Desember 1781, Puputan Bayu yang berlangsung sekitar 1 tahun 4 bulan itu membuat pemerintah kolonial Belanda harus mengeluarkan dana yang luar biasa besar. Setidaknya dana yang dikeluarkan setara dengan 80 ton emas.
Setelah Puputan Bayu, wilayah Blambangan (Banyuwangi) menjadi lengang. Disamping amuk kematian yang disebabkan oleh bedil VOC, juga kelaparan, wabah penyakit, dan migrasi besar-besaran orang Blambangan ke luar  daerah merupakan faktor berkurangnya jumlah penduduk Blambangan.
Akhir tahun 1772 penduduk Blambangan tinggal 3.000 jiwa atau 8,3% dari jumlah penduduk yang ada sebelum pendudukan Belanda.
Akhirnya, berdasarkan kisah pertempuran Puputan Bayu tersebut, DPRD Banyuwangi pada sidangnya tanggal 9 Mei 1995 lewat cara aklamasi menetapkan 18 Desember sebagai hari jadi Banyuwangi. Jadilah napak tilas Puputan Bayu diselenggarakan sebagai rangkaian kegiatan hari jadi Kabupaten Banyuwangi.

Sumber :
- http://lepasparagraf1.blogspot.co.id/2011/03/petaka-blambangan-puputan-bayu-minak.html
- http://harianjambi.com/berita-laskar-tangguh-dari-ujung-timur-jawa.html
- http://www.academia.edu/7512680/Perang_Puputan_Bayu_Di_Blambangan_Pada_1771
- http://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/ribuan-orang-napak-tilas-susuri-jalur-perang-puputan-bayu.html
- https://news.detik.com/berita-jawa-timur/3094611/masyarakat-banyuwangi-gelar-napak-tilas-dan-kirab-pusaka

CANDI AGUNG GUMUK KANCIL

Candi Agung Gumuk Kancil - Candi Agung Gumuk Kancil terletak di di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Bannyuwangi. Candi bermotif Prambanan itu digarap selama 132 hari dengan dana Rp 150 juta. Diresmikan pada 11 Agustus 2002.



Lokasi candi yang berada tepat di Petilasan Maha Rsi Markandeya ini mudah dijangkau, untuk mencapainya bisa menggunakan kendaraan roda empat. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Banyuwangi ke arah barat.

Lokasi candi yang berada di pinggir hutan milik Kesatuan Pemangku hutan (KPH) Perhutani Banyuwangi Barat itu sebenarnya dibuka untuk umum. Selain lokasinya bagus, tempat itu oleh umat hindu disucikan karena dipercaya sebagai petilasan Maha Rsi Markandeya, seorang tokoh penyebar agama Hindu pertama di jawa. Di lokasi itu ada beberapa tempat yang dikeramatkan. Selain candi Agung gumuk kancil juga ada Pura Puncak Raung dan Beji.


                                                        Candi Agung Gumuk Kancil
Candi Agung Gumuk Kancil, glenmore, Banyuwangi.


Pengunjung Candi Agung Gumuk Kancil tidak hanya sebatas umat Hindu yang ingin bersembahyang, namun ada juga kalangan penganut kejawen yang datang untuk meminta nasihat spiritual kepada pemangku kompleks candi sambil berdiskusi dan bermeditasi. Ada juga yang melakukan kaulan. Jika kaulnya dikabulkan, biasanya mereka datang lagi untuk menggelar ritual.

Candi Agung Gumuk Kancil berstatus cagar budaya. Tempat ini masuk salah satu tujuan wisata spiritual yang ditetapkan Pemkab Banyuwangi. Namun, biaya perawatan candi, masih mengandalkan sumbangan dari pengunjung.

Sejak dulu Gumuk Kancil dikenal mistis. Sebelum ada pura, pengikut kejawen sering bersembahyang di tempat ini. Para pemburu binatang pun sebelum berburu berdoa di sini. Candi Agung Gumuk Kancil juga menjadi tempat pengikut kejawen untuk meditasi. Mereka juga banyak datang dari luar Kabupaten Banyuwangi. Sehari-harinya, candi ini dipelihara 11 KK umat Hindu yang bertempat tinggal di sekitar candi.

ASAL USUL CANDI AGUNG GUMUK KANCIL
Keberadaan Candi Agung Gumuk Kancil tidak lepas dari sosok Maha Rsi Markandeya, tokoh spiritual abad ke-7 masehi. Sebelum hijrah ke Bali, Rsi Markandeya hidup dan memiliki pasraman di lereng Gunung Raung, Banyuwangi.

Zaman dulu di sepanjang lereng Raung dipercaya menjadi wilayah pasraman yang ditempati masyarakat Jawa Aga (sebutan untuk masyarakat yang tinggal di lereng selatang gunung Raung). Pasramannya dikenal dengan sebutan Diwang Ukir Damalung membentang dari Banyuwangi hingga Besuki, Situbondo. Komunitas Hindu di lereng Raung tersebar di dua dusun, Sugihwaras dan Wono Asih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore. Dua dusun terpencil ini berlokasi di lereng selatan Raung.
 
Dikisahkan, Rsi Markandeya mengajak sekitar 800 pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit. Setelah bermeditasi, Rsi Markandeya bersama sebagian pengikutnya kembali lagi ke lereng Raung. Keanehan muncul, pengikutnya mendadak sembuh setelah mandi di lereng Raung. Karena itu tempat tersebut kemudian disebut dengan nama Sugihwaras (sugih = kaya, waras = sehat). Mayoritas penduduk Sugihwaras sekarang pemeluk Hindu.

Kemudian, Rsi Markandeya kembali ke Bali disertai sekitar 400 pengikut, mengangkut bale agung dari Raung. Sang Rsi juga membawa panca datu, lima jenis logam yang menjadi cikal bakal upacara di Bali. Di Bali bekas perjalanan Rsi Markandeya bisa ditemukan di Pura Raung, Tegalalang, Gianyar.

Kepastian bekas kehidupan Resi Markandeya di lereng Raung diketahui warga sekitar tahun 1966. Saat itu Agama Hindu sedang berkembang setelah terjadi pergolakan politik peristiwa G 30 S/PKI. Pengikut ajaran kejawen memilih Hindu sebagai patokan sembahyang. Setelah itu, warga yang hidup di pinggir hutan Raung, tepatnya di Gumuk Kancil menemukan sebuah genta terbuat dari kuningan.

Sejak itu, sejumlah peralatan sembahyang lainnya sering ditemukan, seperti arca Siwa. Kebanyakan barang itu terbuat dari bahan kuningan. Warga juga banyak menemukan perabot rumah tangga seperti cangkir, uang kepeng, tempat tirta, kendi. Hampir seluruh benda itu ditemukan dalam timbunan tanah.

Warga pun menemukan bekas bangunan candi di tengah hutan, terbuat dari batu padas berukir indah. Sebuah arca Siwa lingam juga ditemukan di tempat ini. Lokasinya di tengah hutan Gumuk Payung, Kecamatan Sempu, sekitar lima kilometer arah timur lereng Raung.

Bagi umat Hindu Sugihwaras, Rsi Markandeya menjadi panutannya. Untuk mengenang ajarannya, umat setempat membangun sebuah candi di Gumuk Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Letaknya menghadap ke puncak gunung. Umat Hindu meyakini inilah bekas tempat pertapaanya Rsi Markandeya.

Candi di Gumuk Kancil itu terbuat dari batu andesit yang konon didatangkan dari puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali, dibangun tahun 2001. Arsiteknya tokoh spiritual kejawen yang juga juru kunci Candi Prambanan, Yogyakarta, Dulhamid Jaya Prana. Berdirinya candi bertepatan dengan purnama kanem penanggalan Jawa.
Candi yang berdiri di lahan seluas 25 are itu dilengkapi dengan arca Maha Rsi Markandeya, Ciwa dan Budha. Semuanya berbahan baku batu merapi. Selain itu juga ada bale pawedan, tempat sesajen dan senderan.

Batu yang digunakan di Candi Agung Gumuk Kancil diusung dari Gunung Agung Bali dan Muntilan, Jawa Tengah. Jenis batu dari Gunung Agung adalah andesit. Batu tersebut sengaja didatangkan dari Bali dan Jateng, dengan maksud menyatukan kembali tali perkawinan putri Gunung Agung dengan putra Jawa Tengah. Selain itu, dengan perpaduan ini ada maksud ingin mengembalikan sejarah perjalanan ritual Maha Rsi Markandeya yang dimulai dari Jawa menuju Bali. Candi Agung Gumuk Kancil sengaja bermotif Prambanan karena Prambanan dikenal sebagai candi terbesar umat Hindu. Karena itu candi ini menjadi simbol persatuan Jawa-Bali.

Di candi setinggi 13 meter itu terdapat tiga arca utama, yakni arca Siwa Mahadewa di sisi timur, arca Rsi Markandeya dan Tri Murti di sisi barat. Di depan terdapat pintu utama candi untuk pemujaan.

MENJADI TUJUAN WISATA SPIRITUAL

Selain Candi Agung Gumuk Kancil, banyak tempat lagi di sekitar Dusun Sugihwaras yang bisa dijadikan objek perjalanan spiritual. Seluruh lokasi ini diyakini bekas perkampungan kaum Jawa Aga pada masa Rsi Markandeya. Selain Candi Agung Gumuk Kancil sedikitnya ada tiga lokasi, yakni Partirtan Sumber Urip, Watu Gantung dan situs Candi Gumuk Payung. Empat lokasi ini letaknya terpisah, namun bisa ditempuh dalam sekali perjalanan.

Diantara ketiganya, yang dirasakan paling mistis adalah Patirtan Sumber Urip. Letaknya sekitar satu kilometer arah utara Gumuk Kancil. Mata air alami ini ditemukan tahun 1990-an. Sebelumnya mata air ini tertimbun hutan lindung. Sumber Urip merupakan mata air alami yang keluar dari batu.

Sejak tahun 2007, umat Hindu setempat membangun kawasan ini secara swadaya. Tepat di atas mata air utama didirikan sebuah arca Dewi Gangga yang membawa kendi. Dari sumber utama air dialirkan menggunakan 8 kepala naga. Aliran air tersebut kemudian diarahkan ke persawahan warga.

Tempat ini biasanya digunakan sebagai mendak tirta, mengambil air suci, untuk persembahyangan. Hampir tiap hari ada pengunjung datang ke mari. Rata-rata mereka peziarah spiritual. Beberapa di antaranya mengambil airnya untuk dibawa pulang. Kini, umat Hindu setempat mulai memperluas kawasan itu sebagai lokasi pemujaan. Perhutani juga mengizinkannya sebagai kawasan penyangga hutan lindung. Luasnya sekitar 100 m2. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya, masyarakat dilarang menebang pohon dan mengotori lokasi tersebut.

Watu Gantung, glenmore, Banyuwangi.

Dari lokasi mata air Sumber Urip, sekitar 1 km ke arah utara terdapat Watu Gantung. Untuk mencapainya harus berjalan kaki. Watu Gantung adalah batu yang menggantung. Tempat ini juga diyakini masih berkaitan dengan perjalanan Rsi Markandeya.

Lokasi lainnya Pura Puncak Raung dan Pura Giri Mulyo. Dua tempat suci ini berlokasi di bawah Candi Agung Gumuk Kancil. 
Sedangkan letak situs Candi Gumuk Payung agak jauh dari lokasi candi di Gumuk Kancil. Untuk mencapainya pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke pintu gerbang situs.

MATA AIR SUMBER BEJI


Tak jauh lokasi Pura Candi Agung Gumuk Kancil, di area tanah milik Perhutani, yang hanya berjarak sekitar 250 meter, terdapat sebuah mata air Sumber Beji yang dipercaya berkhasiat menyembuhkan penyakit. Bagi sebagian warga, mata air Sumber Beji yang berada di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi ini menjadi alternatif penyembuhan, terutama untuk pengobatan penyakit rematik.
Jalan menuju mata air Sumber Beji, Candi Agung Gumuk Kancil
Jalan menuju  Mata Air Sumber Beji

Untuk mencapai mata air yang berada di salah satu kaki Gunung Raung tersebut, para pengunjung bisa mencapainya dengan berjalan kaki, sedangkan kendaran bermotor tidak bisa melewatinya.

Adalah Suparman (62) Pemangku Pura Candi Agung Gumuk Kancil yang sering mengantar pengunjung ke lokasi dengan jalan kaki menyusuri jalan setapak.
Menurut Suparman, Mata Air Sumber Beji ada empat sumber, yang tempatnya pun tak jauh lokasi yang lain. Tempatnya juga saling berhimpitan atau berjajar.

"Air itu sering dimanfaatkan oleh para pengunjung sebagai Air Tirta dan juga sekedar buat mandi ataupun membasuh muka," katanya.


mata air Sumber Beji, Glenmore

Mata air Sumber Beji sudah memiliki nama sendiri – sendiri yaitu, pertama Dewi Gangga, Dwi Parwati, Dewi Sri, dan yang terakir adalah Dwi Saraswati. Selain digunakan sebagai tempat sembahyang umat hindu, tempat ini juga sering digunakan untuk mandi oleh warga.

Sumber tersebut kini telah dibangun kolam yang berbentuk setengah lingkaran. di bagian luarnya terdapat delapan pancuran mata air. Persis berada di tengah bagian atas pancuran terdapat patung Dewi Saraswati, adalah seorang Dewi yang dikenal sebagai Dewi Air.

Sumber beji, Glenmore.





Menurut Suparlan, juru kunci Mata Air Sumber Beji, sejarah sendang tersebut masih erat kaitannya dengan seorang tokoh besar penyebar agama Hindu di indonesia, yakni Maha Rsi Markandeya, yang tidak lain merupakan penyebar agama Hindu di Indonesia.

Rute Menuju Candi Gumuk Kancil :
  • Dari Kecamatan Genteng ke utara sejauh 7 km menuju kecamatan Sempu.
  • Dari Kecamatan Sempu menuju desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore sejauh 3 km melewati stasiun Kalisetail dan stasiun Sumberwadung.
  • dari desa Sumbergondo menuju dusun wonoasih sejauh 2 km mengikuti petunjuk jalan menuju lokasi.

Featured Post

cara menampilkan youtobe di blog

Cara Memasang Widget Video Di Sidebar 1. Masuk ke Blogger.com 2. lalu cari Tata Letak 3. alu klik widget sidebar 3. Gadget pilih HTML / Java...